Rabu, 30 Mei 2012

TYPHOID




1.      Pengertian
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi  kuman salmonella. ( Bruner and Sudart, 1994 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi ( Arief Maeyer, 1999 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis, ( Syaifullah Noer, 1996 ).
Typhoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, typhoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (.Seoparman, 1996).
Typhoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansoer Orief.M. 1999).
Dari beberapa pengertian diatasis dapat disimpulkan sebagai berikut, Typhoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A. B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi.

2.      Etiologi

Etiologi typhoid adalah salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C. ada dua sumber penularan salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid dan pasien dengan carier.  Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih terus mengekresi salmonella  typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari 1 tahun.
3.      Patofisiologi
Penularan salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food(makanan), Fingers(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly(lalat), dan melalui Feses.
Feses dan muntah pada penderita typhoid dapat menularkan kuman salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap dimakanan yang akan dikonsumsi oleh orang yang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut. Kemudian kuman masuk ke dalam lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus bagian distal dan mencapai jaringan limpoid. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu masuk ke aliran darah dan mencapai sel-sel retikuloendotelial. Sel-sel retikuloendotelial ini kemudian melepaskan kuman ke dalam sirkulasi darah dan menimbulkan bakterimia, kuman selanjutnya masuk limpa, usus halus dan kandung empedu.
Semula disangka demam dan gejala toksemia pada typhoid disebabkan oleh endotoksemia. Tetapi berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam pada typhoid. Endotoksemia berperan pada patogenesis typhoid, karena membantu proses inflamasi lokal pada usus halus. Demam disebabkan karena salmonella thypi dan endotoksinnya merangsang sintetis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

4.      Manifestasi Klinik
Masa tunas typhoid 10 – 14 hari
a.       Minggu I
pada umumnya demam berangsur naik, terutama sore hari dan malam hari. Dengan keluhan dan gejala demam, nyeri otot, nyeri kepala, anorexia dan mual, batuk, epitaksis, obstipasi / diare, perasaan tidak enak di perut.
b. Minggu II
pada minggu II gejala sudah jelas dapat berupa demam, bradikardi, lidah yang khas (putih, kotor pinggirnya hiperemi), hepatomegali, meteorismus, penurunan kesadaran.

5.      Komplikasi

a.       Komplikasi intestinal
1)      Perdarahan usus
2)      Perporasi usus
3)      Ilius paralitik
b.      Komplikasi extra intestinal
1)      Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
2)      Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.
3)      Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
4)      Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.
5)      Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.
6)      Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.
7)      Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma Guillain bare dan sidroma katatonia.

6.      Penatalaksanaan

1.      Perawatan.

1)      Klien diistirahatkan 7 hari sampai demam tulang atau 14 hari untuk mencegah komplikasi perdarahan usus.
2)      Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.

b.      Diet.

1)      Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
2)      Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
3)      Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim.
4.   Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari.

c.       Obat-obatan.

1)      Klorampenikol
2)      Tiampenikol
3)      Kotrimoxazol
4)      Amoxilin dan ampicillin

7.      Pencegahan

Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan hindari makanan pedas

8.      Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari :
a.       Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b.      Pemeriksaan SGOT DAN SGPT
SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c.       Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1)      Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2)      Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.
3)      Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4)      Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.
d.      Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
1)      Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).
2)      Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).
3)      Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.
Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :
a.   Faktor yang berhubungan dengan klien :
1.      Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2.      Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit: aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5 atau ke-6.
3.      Penyakit – penyakit tertentu : ada beberapa penyakit yang dapat menyertai demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4.      Pengobatan dini dengan antibiotika : pengobatan dini dengan obat anti mikroba dapat menghambat pembentukan antibodi.
5.      Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.
6.      Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7.      Infeksi klien dengan klinis/subklinis oleh salmonella sebelumnya : keadaan ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer yang rendah.
8.      Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap salmonella thypi karena penyakit infeksi dengan demam yang  bukan typhoid pada seseorang yang pernah tertular salmonella di masa lalu.
b.  Faktor-faktor Teknis
1.      Aglutinasi silang  : beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2.      Konsentrasi suspensi antigen : konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal.
3.      Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.

ASUHAN KEPERAWATAN

  1. Pengkajian
Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C yang ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan makanan.

2.      Diagnosa Keperawatan

Diagnosa yang mungkin muncul pada klien typhoid  adalah :
a.       Resti ketidakseimbangan volume cairan dan elektrolit b.d hipertermi dan muntah.
b.      Resti gangguan pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang tidak adekuat.
c.       Hipertermi b.d proses infeksi salmonella thypi.
d.      Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik.
e.       Kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat.
  1. Perencanaan
Berdasarkan diagnosa keperawatan secara teoritis, maka rumusan perencanaan keperawatan pada klien dengan typhoid, adalah sebagai berikut :
Diagnosa. 1
Resti gangguan ketidak seimbangan volume cairan dan elektrolit, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hipertermia dan muntah.
Tujuan :
Ketidak seimbangan volume cairan tidak terjadi
Kriteria hasil :
Membran mukosa bibir lembab, tanda-tanda vital (TD, S, N dan RR) dalam batas normal, tanda-tanda dehidrasi tidak ada
Intervensi :
Kaji tanda-tanda dehidrasi seperti mukosa bibir kering, turgor kulit tidak elastis dan peningkatan suhu tubuh, pantau intake dan output cairan dalam 24 jam, ukur BB tiap hari pada waktu dan jam yang sama, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah nyeri dan distorsi lambung. Anjurkan klien minum banyak kira-kira 2000-2500 cc per hari, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb, Ht, K, Na, Cl) dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan tambahan melalui parenteral sesuai indikasi.
Diagnosa. 2
Resiko tinggi pemenuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang tidak adekuat
Tujuan :
Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil :
Nafsu makan bertambah, menunjukkan berat badan stabil/ideal, nilai bising usus/peristaltik usus normal (6-12 kali per menit) nilai laboratorium normal, konjungtiva dan membran mukosa bibir tidak pucat.
Intervensi :
Kaji pola nutrisi klien, kaji makan yang di sukai dan tidak disukai klien, anjurkan tirah baring/pembatasan aktivitas selama fase akut, timbang berat badan tiap hari. Anjurkan klien makan sedikit tapi sering, catat laporan atau hal-hal seperti mual, muntah, nyeri dan distensi lambung, kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet, kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium seperti Hb, Ht dan Albumin dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat antiemetik seperti (ranitidine).

Diagnosa 3
Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella thypi
Tujuan :
Hipertermi teratasi
Kriteria hasil :
Suhu, nadi dan pernafasan dalam batas normal bebas dari kedinginan dan tidak terjadi komplikasi yang berhubungan dengan masalah typhoid.
Intervensi :
Observasi suhu tubuh klien, anjurkan keluarga untuk membatasi aktivitas klien, beri kompres dengan air dingin (air biasa) pada daerah axila, lipat paha, temporal bila terjadi panas, anjurkan keluarga untuk  memakaikan pakaian yang dapat menyerap keringat seperti katun, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti piretik.

Diagnosa 4
Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan :
Kebutuhan sehari-hari terpenuhi
Kriteria hasil :
Mampu melakukan aktivitas, bergerak dan menunjukkan peningkatan kekuatan otot.
Intervensi :
Berikan lingkungan tenang dengan membatasi pengunjung, bantu kebutuhan sehari-hari klien seperti mandi, BAB dan BAK, bantu klien mobilisasi secara bertahap, dekatkan barang-barang yang selalu di butuhkan ke meja klien, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian vitamin sesuai indikasi.

Diagnosa 5
Resti infeksi sekunder berhubungan dengan tindakan invasive
Tujuan :
Infeksi tidak terjadi
Kriteria hasil :
Bebas dari eritema, bengkak, tanda-tanda infeksi dan bebas dari sekresi purulen/drainase serta febris.
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital (S, N, RR dan RR). Observasi kelancaran tetesan infus, monitor tanda-tanda infeksi dan antiseptik sesuai dengan kondisi balutan infus, dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat anti biotik sesuai indikasi.

Diagnosa 6
Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang informasi atau informasi yang tidak adekuat
Tujuan :
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
Menunjukkan pemahaman tentang penyakitnya, melalui perubahan gaya hidup dan ikut serta dalam pengobatan.
Intervensinya :
Kaji sejauh mana tingkat pengetahuan keluarga klien tentang penyakit anaknya, Beri pendidikan kesehatan tentang penyakit dan perawatan klien, beri kesempatan keluaga untuk bertanya bila ada yang belum dimengerti, beri reinforcement positif jika klien menjawab dengan tepat, pilih berbagai strategi belajar seperti teknik ceramah, tanya jawab dan demonstrasi dan tanyakan apa yang tidak di ketahui klien, libatkan keluarga dalam setiap tindakan yang dilakukan pada klien

  1. Evaluasi
Berdasarkan implementasi yang di lakukan, maka evaluasi yang di harapkan untuk klien dengan gangguan sistem pencernaan typhoid adalah : tanda-tanda vital stabil, kebutuhan cairan terpenuhi, kebutuhan nutrisi terpenuhi, tidak terjadi hipertermia, klien dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari secara mandiri, infeksi tidak terjadi dan keluaga klien mengerti tentang penyakitnya.


stroke


A. Pengertian
Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang terkena (WHO, 1989).
  
B. Klasifikasi stroke
Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan menjadi :
1. stroke hemoragik
Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi yang tidak terkontrol.
2. stroke non hemoragik
Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak. Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena hipoksia jaringan otak.

Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakitnya, yaitu :
  1. TIA’S (Trans Ischemic Attack)
Yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
  1. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)
Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu 1 minggu dan maksimal 3 minggu..
  1. stroke in Volution
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam beberapa jam atau beberapa hari.
  1. Stroke Komplit
Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.

C. Etiologi

Ada beberapa factor risiko stroke yang sering teridentifikasi, yaitu ;
1.       Hipertensi, dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah cerebral.
2.       Aneurisma pembuluh darah cerebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
3.       Kelainan jantung / penyakit jantung
Paling banyak dijumpai pada pasien post MCI, atrial fibrilasi dan endokarditis. Kerusakan kerja jantung akan menurunkan kardiak output dan menurunkan aliran darah ke otak. Ddisamping itu dapat terjadi proses embolisasi yang bersumber pada kelainan jantung dan pembuluh darah.
4.       Diabetes mellitus (DM)
Penderita DM berpotensi mengalami stroke karena 2 alasan, yeitu terjadinya peningkatan viskositas darah sehingga memperlambat aliran darah khususnya serebral dan adanya kelainan microvaskuler sehingga berdampak juga terhadap kelainan yang terjadi pada pembuluh darah serebral.
5.       Usia lanjut
Pada usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak.
6.       Polocitemia
Pada policitemia viskositas darah meningkat dan aliran darah menjadi lambat sehingga perfusi otak menurun.
7.       Peningkatan kolesterol (lipid total)
Kolesterol tubuh yang tinggi dapat menyebabkan aterosklerosis dan terbentuknya embolus dari lemak.
8.       Obesitas
Pada obesitas dapat terjadi hipertensi dan peningkatan kadar kolesterol sehingga dapat mengakibatkan gangguan pada pembuluh darah, salah satunya pembuluh drah otak.
9.       Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin sehingga terjadi aterosklerosis.
10.   kurang aktivitas fisik
Kurang aktivitas fisik dapat juga mengurangi kelenturan fisik termasuk kelenturan pembuluh darah (embuluh darah menjadi kaku), salah satunya pembuluh darah otak.

D. Patofisiologi

1.      Stroke non hemoragik
Iskemia disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.
2.      Stroke hemoragik
Pembuluh darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema, spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.


E. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak yang terkena.
  1. Pengaruh terhadap status mental
·         Tidak sadar           : 30% - 40%
·         Konfuse                : 45% dari pasien biasanya sadar
  1. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:
·         Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)
·         Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)
·         Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%)
  1. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
·         hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-80%)
·         inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang terkena
  1. Daerah arteri serebri posterior
·         Nyeri spontan pada kepala
·         Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)
  1. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:
·         Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak
·         Hemiplegia alternans atau tetraplegia
·         Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan, emosi labil)

Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
  1. Stroke hemisfer kanan
·         Hemiparese sebelah kiri tubuh
·         Penilaian buruk
·         Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan
  1. stroke hemisfer kiri
·         mengalami hemiparese kanan
·         perilaku lambat dan sangat berhati-hati
·          
·         kelainan bidang pandang sebelah kanan
·         disfagia global
·         afasia
·         mudah frustasi

F. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan penunjang disgnostik yang dapat dilakukan adalah :
  1. laboratorium: mengarah pada pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, kolesterol, dan bila perlu analisa gas darah, gula darah dsb.
  2. CT scan kepala untuk mengetahui lokasi dan luasnya perdarahan atau infark
  3. MRI untuk mengetahui adanya edema, infark, hematom dan bergesernya struktur otak
  4. angiografi untuk mengetahui penyebab dan gambaran yang jelas mengenai pembuluh darah yang terganggu

G. Penatalaksanaan medis

Secara umum, penatalaksanaan pada pasien stroke adalah:
  1. Posisi kepala dan badan atas 20-30 derajat, posisi miring jika muntah dan boleh dimulai mobilisasi bertahap jika hemodinamika stabil
  2. Bebaskan jalan nafas dan pertahankan ventilasi yang adekuat, bila perlu diberikan ogsigen sesuai kebutuhan
  3. Tanda-tanda vital diusahakan stabil
  4. Bed rest
  5. Koreksi adanya hiperglikemia atau hipoglikemia
  6. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit
  7. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, bila perlu lakukan kateterisasi
  8. Pemberian cairan intravena berupa kristaloid atau koloid dan hindari penggunaan glukosa murni atau cairan hipotonik
  9. Hindari kenaikan suhu, batuk, konstipasi, atau suction berlebih yang dapat meningkatkan TIK
  10. Nutrisi per oral hanya diberikan jika fungsi menelan baik. Jika kesadaran menurun atau ada gangguan menelan sebaiknya dipasang NGT
  11. Penatalaksanaan spesifik berupa:
·         Stroke non hemoragik: asetosal, neuroprotektor, trombolisis, antikoagulan, obat hemoragik
·         Stroke hemoragik: mengobati penyebabnya, neuroprotektor, tindakan pembedahan, menurunkan TIK yang tinggi

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN STROKE
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d. penumpukan sputum (karena kelemahan, hilangnya refleks batuk)

Pasien mampu mempertahankan jalan nafas yang paten.

Kriteria hasil :
a. Bunyi nafas vesikuler
b. RR normal
c.  Tidak ada tanda-tanda sianosis  dan pucat
d. Tidak ada sputum
1. Auskultasi bunyi nafas
2. Ukur tanda-tanda vital
3. Berikan posisi semi fowler sesuai dengan kebutuhan (tidak bertentangan dgn masalah keperawatan lain)
4. Lakukan penghisapan lender dan pasang OPA jika kesadaran menurun
5. Bila sudah memungkinkan lakukan fisioterapi dada dan latihan nafas dalam
6. Kolaborasi:
·   Pemberian ogsigen
·   Laboratorium: Analisa gas darah, darah lengkap dll
·   Pemberian obat sesuai kebutuhan
2.























Penurunan perfusi serebral b.d. adanya perdarahan, edema atau oklusi pembuluh darah serebral
Perfusi serebral membaik

Kriteria hasil :
a. Tingkat kesadaran membaik (GCS meningkat)
b. fungsi kognitif, memori dan motorik membaik
c.  TIK normal
d. Tanda-tanda vital stabil
e.  Tidak ada tanda perburukan neurologis
f.              
1.   Pantau adanya tanda-tanda penurunan perfusi serebral :GCS, memori, bahasa respon pupil dll
2.   Observasi tanda-tanda vital (tiap jam sesuai kondisi pasien)
3.   Pantau intake-output cairan, balance tiap 24 jam
4.   Pertahankan posisi tirah baring pada posisi anatomis atau posisi kepala tempat tidur 15-30 derajat
5.   Hindari valsava maneuver seperti batuk, mengejan dsb
6.   Pertahankan ligkungan yang nyaman
7.   Hindari fleksi leher untuk mengurangi resiko jugular
8.   Kolaborasi:
·        Beri ogsigen sesuai indikasi
·        Laboratorium: AGD, gula darah dll
·        Penberian terapi sesuai advis
·        CT scan kepala untuk diagnosa dan monitoring

3.
Gangguan mobilitas fisik b.d. kerusakan neuromuskuler, kelemahan, hemiparese
Pasien mendemonstrasikan mobilisasi aktif

Kriteria hasil :
a. tidak ada kontraktur atau foot drop
b. kontraksi otot membaik
c.  mobilisasi bertahap
1.  Pantau tingkat kemampuan mobilisasi klien
2.  Pantau kekuatan otot
3.  Rubah posisi tiap 2 jan
4.  Pasang trochanter roll pada daerah yang lemah
5.  Lakukan ROM pasif atau aktif sesuai kemampuan dan jika TTV stabil
6.  Libatkan keluarga dalam memobilisasi klien
7.  Kolaborasi: fisioterapi

4.
Gangguan komunikasi verbal b.d. kerusakan neuromuscular, kerusakan sentral bicara
Komunikasi dapat berjalan dengan baik

Kriteria hasil :
a. Klien dapat mengekspresikan perasaan
b. Memahami maksud dan pembicaraan orang lain
c.  Pembicaraan pasien dapat dipahami
1. Evaluasi sifat dan beratnya afasia pasien, jika berat hindari memberi isyarat non verbal
2. Lakukan komunikasi dengan wajar, bahasa jelas, sederhana dan bila perlu diulang
3. dengarkan dengan tekun jika pasien mulai berbicara
4. Berdiri di dalam lapang pandang pasien pada saat bicara
5. Latih otot bicara secara optimal
6. Libatkan keluarga dalam melatih komunikasi verbal pada pasien
7. Kolaborasi dengan ahli terapi wicara

5.













(Risiko) gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d. intake nutrisi tidak adekuat
Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
b. Berat badan dalam batas normal
c.  Conjungtiva ananemis
d. Tonus otot baik
e.  Lab: albumin, Hb, BUN dalam batas normal
1. Kaji factor penyebab yang mempengaruhi kemampuan menerima makan/minum
2. Hitung kebutuhan nutrisi perhari
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Catat intake makanan
5. Timbang berat badan secara berkala
6. Beri latihan menelan
7. Beri makan via NGT
8. Kolaborasi : Pemeriksaan lab(Hb, Albumin, BUN), pemasangan NGT, konsul ahli gizi

6.
Perubahan persepsi-sensori b.d. perubahan transmisi saraf sensori, integrasi, perubahan psikologi
Persepsi dan kesadaran akan lingkungan dapat dipertahankan
1.  Cari tahu proses patogenesis yang mendasari
2.  Evaluasi adanya gangguan persepsi: penglihatan, taktil
3.  Ciptakn suasana lingkungan yang nyaman
4.  Evaluasi kemampuan membedakan panas-dingin, posisi dan proprioseptik
5.  Catat adanya proses hilang perhatian terhadap salah satu sisi tubuh dan libatkan keluarga untuk membantu mengingatkan
6.  Ingatkan untuk menggunakan sisi tubuh yang terlupakan
7.  Bicara dengan tenang dan perlahan
8.  Lakukan validasi terhadap persepsi klien dan lakukan orientasi kembali

7.
Kurang kemampuan merawat diri b.d. kelemahan, gangguan neuromuscular, kekuatan otot menurun, penurunan koordinasi otot, depresi, nyeri, kerusakan persepsi
Kemampuan merawat diri meningkat

Kriteria hasil :
a. mendemonstrasikan perubahan pola hidup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
b. Melakukan perawatan diri sesuai kemampuan
c.  Mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber bantuan
1. Pantau tingkat kemampuan klien dalam merawat diri
2. Berikan bantuan terhadap kebutuhan yang benar-benar diperlukan saja
3. Buat lingkungan yang memungkinkan klien untuk melakukan ADL mandiri
4. Libatkan keluarga dalam membantu klien
5. Motivasi klien untuk melakukan ADL sesuai kemampuan
6. Sediakan alat Bantu diri bila mungkin
7. Kolaborasi: pasang DC jika perlu, konsultasi dengan ahli okupasi atau fisioterapi

8.











Risiko cedera b.d. gerakan yang tidak terkontrol selama penurunan kesadaran
Klien terhindar dari cedera selama perawatan

Kriteria hasil :
a.                   Klien tidak terjatuh
b.                   Tidak ada trauma dan komplikasi lain
1. Pantau tingkat kesadaran dan kegelisahan klien
2. Beri pengaman pada daerah yang sehat, beri bantalan lunak
3. Hindari restrain kecuali terpaksa
4. Pertahankan bedrest selama fase akut
5. Beri pengaman di samping tempat tidur
6. Libatkan keluarga dalam perawatan
7. Kolaborasi: pemberian obat sesuai indikasi (diazepam, dilantin dll)

9.
Kurang pengetahuan (klien dan keluarga) tentang penyakit dan perawatan b.d. kurang informasi, keterbatasan kognitif, tidak mengenal sumber
Pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit dan perawatan meningkat.

Kriteria hasil :
a. Klien dan keluarga berpartisipasi dalam proses belajar
b. Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, pengobatan, dan perubahan pola hidup yang diperlukan
1. Evaluasi derajat gangguan persepsi sensuri
2. Diskusikan proses patogenesis dan pengobatan dengan klien dan keluarga
3. Identifikasi cara dan kemampuan untuk meneruskan progranm perawatan di rumah
4. Identifikasi factor risiko secara individual dal lakukan perubahan pola hidup
5. Buat daftar perencanaan pulang